Zack Snyder dan Dekonstruksi Kisah Superman
Untuk mengingat kembali film “Zack Snyder’s Justice League” yang telah dirilis dua bulan lalu, dan hingga saat ini masih menjadi suatu fenomena internet, kita perlu paham terlebih dahulu apa yang Zack Snyder lakukan terhadap Superman. Visi asli dari film Justice League ini merupakan babak lanjutan dari karakterisasi tokoh yang diperankan Henry Cavill di film “Man of Steel” (2013) dan “Batman v Superman: Dawn of Justice” (2016). Maka dari itu, tulisan ini tidak akan mengulas kedua film tersebut, melainkan perjalanan tokoh Superman dalam visi Zack Snyder, dari yang awalnya seorang bocah alien sampai menjadi simbol harapan sebagaimana yang seharusnya.
Pada masa awal saya menyukai tokoh-tokoh komik Amerika, Superman bukan salah satu tokoh favorit saya. Malah tadinya saya pikir Superman adalah tokoh yang membosankan. “Apa yang benar-benar istimewa dari manusia yang terbang dan berjubah lalu memiliki fisik yang super kuat?”, pikir saya. Hidupnya sepertinya enak dan lebih mudah dari orang kebanyakan, begitu anggapan saya ketika kecil. Makanya, beberapa tahun lalu saya pikir Peter Parker, Spider-Man, dan segala permasalahan hidupnya lebih terasa relevan dan relatable bagi para penikmatnya. Awalnya, saya pikir dia hanya sekadar “textbook definition” dari sebuah sosok pahlawan super. Namun, semua itu berubah ketika Superman tiba di tangan Zack Snyder.
Bagaimana tidak, tokoh yang tadinya hanya sering digambarkan sebagai pahlawan yang dicintai sebagian masyarakat — dan kelihatannya hanya dibenci oleh si tamak Lex Luthor — kemudian muncul sebagai sosok yang diperlihatkan melalui sudut pandang berbeda. Kal-El alias Clark Kent, simbol harapan penerus Krypton, hidup di Bumi sebagai individu yang terasing, dianggap aneh dan dikucilkan. Ia harus menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya — sekalipun Clark sendiri sempat tidak tahu dari mana asal usulnya — jika tidak mau menimbulkan masalah yang lebih besar.
Jonathan Kent, almarhum ayah Clark, tahu bahwa dunia belum siap dengan keistimewaan yang dimiliki Clark. Meskipun gagasan serupa juga pernah disinggung di film “X-Men” (2000), konflik internal semacam ini tetap dibawakan secara menarik dan justru membuat karakterisasi Clark menjadi lebih kaya dan lebih humanis daripada yang pernah kita tahu sebelumnya.
“Man of Steel” sejatinya bukan film Superman. Clark Kent alias Kal-El belum seutuhnya menjadi Superman. Film tersebut sejatinya berfokus pada pencarian jati diri Kal-El si bocah Krypton yang kemudian harus menyesuaikan diri di Bumi. Sementara itu, sebagai Clark Kent, ia juga tetap berusaha mengingat bahwa meskipun dirinya bukan anak kandung, ia tetap sepenuhnya menjadi putra dari Jonathan dan Martha Kent. Selain itu, film ini juga menitikberatkan pandangan dunia di sekitar Kal-El jika seandainya ternyata mereka menemukan ternyata ada “manusia setengah dewa” yang hidup di tengah-tengah mereka.
Zack Snyder dengan film “Man of Steel” tentunya berhasil meruntuhkan gagasan yang kita ketahui soal Superman. Inilah yang dinamakan DEKONSTRUKSI. Dekonstruksi artinya penataan ulang. Bisa jadi, dekonstruksi ini meruntuhkan, membelokkan, atau malah menguatkan gagasan yang sudah kita ketahui sejak lama dengan gaya berbeda. Intinya, dekonstruksi adalah pembedahan struktur dari sesuatu, dalam hal ini cerita atau karakter, lalu disusun ulang menjadi sesuatu yang baru.
Jika kita pikirkan secara realistis, kecil kemungkinannya bahwa manusia Bumi akan bahagia begitu saja ketika melihat sosok manusia super muncul entah dari mana. Tak dapat diragukan lagi, akan muncul konflik, ketidakpercayaan, bahkan rasa iri dan dengki terhadap kekuatan yang dimiliki Superman (yang mana permasalahan ini disinggung lebih lanjut di film “Batman v Superman: Dawn of Justice”). Hal ini tentunya menjadi dimensi baru yang jarang kita temui pada kisah-kisah Superman pada umumnya.
Tidak lupa pula, di film ini kita bisa melihat sedikit sejarah Krypton sebelum hancur, tentang bagaimana sistem yang berlaku di sana dan seperti apa masyarakatnya. Tentunya, dengan visualisasi yang megah dan terbarukan (update) dari “planet alien” yang banyak ditampilkan pada film-film bertemakan luar angkasa. Unsur sci-fi/thriller juga diperkuat dengan adegan-adegan invasi General Zod ke Bumi yang hadir dengan cukup mencekam.
Pada babak ketiga film “Man of Steel”, kita dapat melihat sesuatu yang sebenarnya umum dihadirkan pada film-film superhero, yaitu pertempuran fisik antara sang protagonis dan antagonis. Namun, lagi-lagi Snyder memberikan sentuhan yang berbeda pada babak ketiga film ini. Kita bisa melihat, bahwa se-generik apa pun pertempuran antara Kal-El dengan Zod, ia tetap konsisten pada karakterisasi. Superman sejatinya tetaplah Clark Kent yang selalu ingin melindungi ibunya. Lalu, dampak kehancuran yang ditampilkan memang realistis dan sudah seharusnya seperti itu. Apa yang kamu harapkan dari dua manusia super yang bertempur dari kota kecil lalu berlanjut ke kota besar? Tentu saja KEHANCURAN BESAR. Kamu tidak bisa berharap mereka berhenti sejenak dan pindah ke tempat sepi, bukan?
Akhir kata, saya pikir Snyder memang salah satu orang yang tepat yang memang mengerti dan peduli tentang karakter Superman. Jangan sebut ia tak mengerti hanya karena ia membuat Superman membunuh musuh pertamanya. Justru, seperti sudah saya sebutkan sebelumnya, film ini sejatinya adalah bagian paling awal dari perkembangan karakter Kal-El sebagai pahlawan Bumi nantinya. Snyder paham betul seperti apa seharusnya menangani Superman, maka dari itu ia mencoba mendekonstruksi kisah Superman dengan visinya sendiri.
Dosen saya pernah berkata, “Segala hal sebenarnya bisa didekonstruksi, tetapi yang menjadi persoalan yaitu apakah dunia sudah siap menerima keterbukaan tersebut?”. Sebagaimana Superman dalam film “Man of Steel” dan “Batman v Superman: Dawn of Justice” yang menghadapi ketidaksiapan dunia dalam menghadapi kemunculannya, saya rasa kedua film tersebut secara umum juga mengalami hal yang sama. Masih banyak yang belum siap akan kehadiran karya yang mendobrak pakem film superhero pada umumnya, dan memang karya-karya seperti itu harus selalu kuat untuk menghadapi berbagai kontroversi sampai masyarakat akhirnya bersedia menerima dan mengakui karya tersebut sebagai bagian dari kita semua.
(Senin, 17 Mei 2021)