Berjalanlah Walau Habis Terang: Sebuah Esai tentang Film “All the Bright Places” (2020)
“All the Bright Places” adalah film yang diproduksi Netflix pada tahun 2020 dan disutradarai oleh Brett Haley, yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Jennifer Niven. Film itu bercerita tentang Violet Markey — yang diperankan oleh Elle Fanning — yang kehilangan semangat hidup setelah kakaknya, Eleanor, meninggal karena kecelakaan mobil. Violet pun dipergoki sedang berdiri di tepian jembatan oleh Theodore Finch — yang diperankan oleh Justice Smith. Sejak saat itu, keduanya menjadi dekat dan Finch berusaha menunjukkan kepada Violet bahwa sebenarnya hidup itu masih punya arti.
Berdasarkan sinopsis yang saya tulis, film ini kelihatannya nggak jauh berbeda dengan film-film drama cinta remaja pada umumnya. Well, di bagian romansanya, mungkin memang iya. Namun, buat saya pribadi, rasanya sedikit lebih dari itu. Saya juga nggak akan nonton kalau film ini sekadar film bucin yang menye-menye. Tapi, di level tertentu, menurut saya film ini menarik jika dibahas kaitannya dengan muatan mental health awareness yang diusung sejak awal.
Sebelum kita menyelam lebih jauh ke pembahasan, saya mau mengingatkan kalau tulisan ini bermuatan spoiler. Jadi, sebelum baca lebih jauh, coba nonton filmnya dulu, lalu balik ke sini. Di tulisan ini, saya mau mengulas dua tokoh utamanya sedikit lebih dalam. Sekalipun Theodore Finch dan Violet Markey adalah tokoh fiksi, ternyata masalah-masalah yang mereka hadapi juga cukup mewakili penonton yang pernah mengalami hal serupa.
Film ini bikin saya sadar akan sesuatu, dan itu adalah ungkapan perasaan yang ingin saya tuliskan dalam beberapa paragraf selanjutnya. Kadang, ada saatnya kita merasa tiba-tiba masuk ke sebuah lorong yang gelap, entah bagaimana. Kita bingung dengan dunia ini, juga dengan diri sendiri. Namun, di saat yang sama kita juga tidak mau — dan tidak bisa — keluar dari masalah itu karena takut bahwa dunia luar jangan-jangan lebih buruk lagi. Kita tidak ingin diselamatkan — dan entah apa yang ingin kita lakukan. Banyak dari kita yang pernah merasa seperti Violet Markey.
Kemudian, ada satu variabel di semesta ini yang tidak bisa kita prediksi: hadirnya seseorang di hidup kita. Theodore Finch adalah salah satu bentuk orang itu. Orang yang mungkin nggak kita tahu proses hidupnya gimana, masalah hidupnya seperti apa, tapi masih mau “menemani kita berdiri di tepian jembatan” hanya supaya kita nggak sendirian lagi. Orang itu adalah sosok yang rela ngasih energi dan waktunya untuk melakukan hal-hal konyol dan sepele — tapi tetap berusaha untuk bikin kita bangkit dari kesuraman hidup kita sendiri. Dia cuma ingin bikin kita melihat kalau dunia nggak semuanya seburuk yang kita kira. Padahal, ‘kan, yang bikin masalah itu kita sendiri, tapi herannya dia mau-mau aja mengurusi persoalan yang sebenernya bukan tanggung jawab dia juga. But that’s why they’re great.
Setelah usaha-usahanya yang melelahkan — dan sebenernya menyenangkan, kita mulai bisa merasa sedikit lebih baik. Dengan adanya orang seperti dia, yang nunjukin ke kita kalau alasan kita bahagia di hidup ini juga bisa hadir dari hal-hal kecil, yang bikin kita sadar kalau “tempat terburuk pun bisa kita anggap jadi yang terbaik kalau kita punya waktu untuk menghargainya”, dia jadi tempat terang yang kita tuju ketika kita mulai merasa “kegelapan” itu datang. Tapi, apa yang terjadi kalau satu-satunya cahaya yang kita butuh itu tiba-tiba hilang?
Karena satu alasan yang tidak kita pahami, dia tiba-tiba menghilang seperti Avatar. Kita khawatir dan cemas, bukan hanya tentang dia, tapi kita juga cemas untuk diri sendiri. Kita takut jika kita akan tersesat (lagi) di dunia luar. Kita takut jika seandainya nggak ada lagi yang bisa bikin kita merasa baik-baik saja. Saat dia akhirnya datang kembali tanpa penjelasan, sama seperti hilangnya, kita jadi marah. Kita jadi mengeluh kenapa mereka nggak ada saat kita butuh. Kita jadi menuntut dan hampir mengendalikan mereka untuk memberikan sebagian hidupnya ke kita. Padahal, seperti yang disebut sebelumnya, itu nggak sepenuhnya jadi tanggung jawab mereka juga. Kita setidaknya jadi lupa akan satu hal: bahwa mereka juga punya masalah hidup mereka sendiri, dan kita hanya sibuk dengan masalah yang kita punya.
Biasanya, moment of realization seperti itu hadir belakangan, sebagaimana penyesalan pada umumnya. Entah sudah terlambat atau hampir terlambat, tapi kita jadinya nggak bisa mengubah hal itu. Kita jadi kecewa, sedih, bahkan menyalahkan diri sendiri. Tapi ada pelajaran yang lebih penting. Bukan lagi soal mencari kebahagiaan atau “tempat-tempat terang”, melainkan soal bangkit dan melanjutkan hidup. Pada akhirnya, orang yang meninggalkan kita juga nggak mau kita terpuruk. Kita tetap harus menjalani hidup, mengingat dan menciptakan momen indah kita sendiri. Nggak ada lagi yang harus bertanggung jawab untuk diri kita kecuali diri sendiri. Di saat yang sama, kita juga nggak tahu apa yang orang lain sedang perjuangkan. Nggak ada yang tahu rasa sakit macam apa yang harus dipendam untuk rela menjadi cahaya buat orang lain. Hal paling sederhana yang bisa kita lakukan tidak jauh dari apa yang ia lakukan untuk kita: hadir untuk kita dan nggak menuntut terlalu banyak.
Kita cuma bisa menerima bahwa hanya sampai situlah peran seseorang di hidup kita. Kita nggak punya kapasitas untuk tahu — atau bahkan menyuruh dia — kapan dia datang atau pergi. Tapi setidaknya, karena orang-orang seperti Theodore Finch, kita bisa sadar bahwa akan ada “tempat-tempat terang” itu, bahkan di masa-masa paling suram sekalipun. Seandainya pun memang nggak ada, kita cuma perlu ingat bahwa setidaknya kita juga punya kapasitas untuk menjadi “tempat terang” itu, untuk diri sendiri maupun orang lain, dengan cara kita masing-masing.
(Bandung, 3 Maret 2021)